Minggu, 26 September 2010

Jangan Biarkan Kebanggaan Itu Semu...

Layar KRI Dewaruci terkembang penuh sesaat setelah tiang layar utama yang nyaris patah selesai diperbaiki. Gambar diambil di Laut Mediterania, pertengahan bulan September lalu. (Foto: KOMPAS/C Wahyu Haryo PS)

27 September 2010 -- ”Bisa mengawaki KRI Dewaruci rasanya seperti mimpi. Sejak lama saya mengidamkan ada di kapal ini, tetapi tidak terbayang sama sekali kalau akhirnya mimpi itu terwujud.”

Suaranya terdengar bergetar, sudut matanya berkaca-kaca. Terpancar rasa haru, senang, sekaligus bangga dari benak Letnan Satu Laut (Pelaut) Chusnul Hidayat kala mengucapkan kalimat tersebut.

Semburat cahaya jingga yang mengantar mentari kembali ke balik cakrawala, Sabtu (11/9) petang, serasa mengamini suara hati Chusnul itu. Saat itu, KRI Dewaruci yang kami tumpangi juga mengangguk-angguk mengikuti alunan ombak Laut Mediterania.

Bagi Chusnul, mengawaki KRI Dewaruci tidak hanya berarti berkesempatan pergi ke luar negeri, menambah wawasan baru dari belahan dunia lain, serta memiliki kawan di luar negeri. ”KRI Dewaruci begitu melegenda dan terkenal di dunia. Kapal ini sudah berkali-kali mengarungi samudra, keliling dunia, singgah, dan bertemu dengan banyak orang di luar negeri,” ujarnya berapi-api.

KRI, singkatan dari Kapal Perang Republik Indonesia, Dewaruci adalah kapal layar yang digunakan sebagai kapal latih taruna Akademi Angkatan Laut Surabaya. Bulan-bulan ini kapal ini berkeliling dunia untuk mengikuti sejumlah lomba berlayar internasional sekaligus melatih kadet TNI AL. Wilayah-wilayah yang disinggahi di antaranya adalah Le Havre (Perancis), Antwerp (Belgia), Hartlepool (Inggris), Cherboug (Perancis), hingga Amsterdam (Belanda). Dalam Sail 2010, misalnya, KRI Dewaruci meraih penghargaan sebagai ”The Most Spectacular Entry Harbour in Amsterdam”.

Tentang KRI Dewaruci yang tersohor di seantero dunia, hal itu tidaklah berlebihan. Setidaknya, dalam pelayaran di Eropa yang saya ikuti selama hampir tiga minggu sejak pertengahan Agustus lalu, saya menyaksikan orang-orang dari sejumlah negara begitu antusias menyambut dan mengunjungi KRI Dewaruci. Orang dari sejumlah negara itu tentu tidak hanya mengagumi KRI Dewaruci yang berusia 58 tahun itu.

Mereka ternyata juga kagum dengan ketangguhan awak KRI Dewaruci yang berani menantang maut, mengarungi ganasnya samudra di berbagai penjuru dunia. Apalagi awak KRI Dewaruci menggunakan kapal yang boleh dibilang sudah cukup tua. KRI Dewaruci dibuat pada tahun 1952 di galangan kapal HC Stulchen & John Ship Hamburg, Jerman.

Saya pun menyaksikan kegigihan awak KRI Dewaruci menghadapi badai Laut Utara Eropa, mengatasi kebocoran kapal, serta memperbaiki tiang layar utama yang nyaris patah.

Tidak salah jika taruna-taruna Akademi Angkatan Laut pun menjalani pelatihan kebaharian di KRI Dewaruci. Mereka yang nantinya menjadi perwira TNI AL, garda terdepan dalam menjaga wilayah perairan Indonesia, memang seharusnya ditempa di KRI Dewaruci.

Ada sekitar 80 taruna yang menjalani pelatihan tahun ini berlayar bersama KRI Dewaruci. Di kapal itu mereka mempraktikkan ilmu pengetahuan yang selama ini didapatkan di akademi. Mulai dari pengetahuan astronomi, navigasi, komunikasi, mengendalikan kapal, hingga mengatasi keadaan darurat ataupun menyiapkan diri menghadapi musuh. Semua pelatihan itu dilakukan dengan disiplin ketat. Mental dan fisik taruna benar-benar digembleng di sana. Hampir semua kegiatan taruna terjadwal dan harus dijalani sungguh-sungguh.

Dengan kondisi demikian, tentu rasa rindu kepada keluarga di rumah menjadi demikian besar. Apalagi mereka harus melewatkan momen-momen bersejarah di dalam keluarga, seperti kelahiran anak, perkawinan kerabat, bahkan kematian anggota keluarga. Dalam pelayaran kali ini, setidaknya ada delapan anak dari awak KRI Dewaruci lahir.

”Hampir tiap hari saya memandangi foto putri pertama saya yang dikirim istri lewat MMS (layanan pesan multimedia),” kata Kepala Departemen Logistik KRI Dewaruci Letnan Satu Laut (Pelaut) Wasis Nindito.

Meski ditempa disiplin militer yang ketat, jangan dibayangkan pelaut yang mengawaki KRI Dewaruci itu adalah sosok yang sangar dan kaku. Justru sebaliknya, mereka adalah sosok pelaut yang ramah, mudah bergaul, dan mampu berkesenian cukup baik. Di tiap kota yang disinggahi, mereka selalu menerima dan meladeni percakapan dengan orang yang ingin berkunjung ke KRI Dewaruci. Mereka juga menampilkan beragam tarian dari Pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Papua.

Misi yang diemban awak KRI Dewaruci memang tidak bisa dianggap remeh. Mereka menjadi duta bangsa, duta budaya, dan duta pariwisata. Lebih dari itu, mereka juga menjadi duta yang membina hubungan persahabatan dengan dunia internasional.

Kesejahteraan minim

Sungguh ironis ketika mengetahui kesejahteraan yang mereka dapatkan tidak sebanding dengan risiko pertaruhan nyawa dan misi besar yang mereka sandang. Semula saya membayangkan, sepulang berlayar pastilah pelaut-pelaut ini mengantongi uang yang lumayan besar bagi anak istrinya. Nyatanya, uang berlayar yang mereka dapatkan hanya Rp 300.000-Rp 400.000 per bulan. Uang saku yang diberikan hanya saat bersandar berkisar Rp 3 juta per bulan.

Rasanya ingin menangis ketika menerima titipan uang dari sejumlah awak KRI Dewaruci. Uang itu sengaja dititipkan agar saat saya kembali ke Tanah Air bisa segera dikirimkan kepada keluarga mereka. Jumlahnya beragam, mulai dari ratusan ribu rupiah hingga kurang dari Rp 2 juta. Saya tahu uang itu benar-benar dibutuhkan keluarga mereka karena sesaat setelah saya mendarat di Jakarta, salah seorang istri awak KRI Dewaruci menghubungi saya dan menanyakan uang titipan tersebut.

Apa yang dialami awak KRI Dewaruci boleh jadi merupakan cerminan kesejahteraan prajurit TNI AL secara keseluruhan. Jika demikian adanya, akankah kita membiarkan kebanggaan mereka sebagai pelaut ulung, bangsa yang mewarisi jiwa bahari dari negara kepulauan terbesar itu, sebagai sebuah kebanggaan yang semu?

KOMPAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar