Kamis, 26 Januari 2012

Suara Orang Miskin


Dari total 35 juta penduduk miskin di Indonesia, menurut ahli statistik dari Universitas Airlangga, Surabaya, Kresnayana Yahya, sektiar 70% mempunyai hak pilih.
Itu merupakan perhitungan secara teoritis karena tak semua warga miskin bisa mewujudkan haknya, atau mungkin tidak bersedia.
"Realitanya belum separuh yang mencoblos. Mereka tidak merasa akan ada perubahan," jelasnya.
Dua warga Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, misalnya -Saprawi dan Siti- mengatakan mereka tidak selalu menggunakan hak politik dalam berbagai pemilihan.
Adapun di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, seorang ibu rumah tangga, Monik, menuturkan tidak absen dalam pemilihan.
"Di sini kalau tidak mencoblos tidak bisa. RT dibagi kartu, masyarakat semua harus dapat. Tapi macam bantuan, nama kita tidak ada padahal petugas berulang-ulang datang," kata ibu dua anak ini.

Patron-klien
Orang miskin itu menjadi klien dari seorang patron. Dia bisa orang kaya, dia bekerja pada dia, petani buruh kepada dia. Nah, terkadang suara orang miskin itu ikut patronnya.
Sirojuddin Arif

Menurut peneliti lembaga penelitian SMERU, Sirojuddin Arif, suara orang miskin bisa disetir berdasarkan sistem patron-klien yang masih menjadi tradisi politik di Indonesia.
"Orang miskin itu menjadi klien dari seorang patron. Dia bisa orang kaya, dia bekerja pada dia, petani buruh kepada dia. Nah, terkadang suara orang miskin itu ikut patronnya,” jelasnya.
“Tetapi tidak menutup kemungkinan, saya rasa juga ada perubahan sekarang ini. Tidak selalu orang miskin seperti itu," kata Sirojuddin.
Selain itu ada juga imbalan uang langsung yang bersifat sesaat, seperti yang dilakukan oleh Dedi, tukang ojek di Kupang, yang mengaku sering diminta partai politik untuk menggalang massa.
Dia menuturkan pemberian uang dari calon tertentu merupakan rejeki tetapi dia menegaskan tidak berarti dia memilih calon yang memberikan uang.
Dedi menuturkan pilihannya tergantung pada figur.
Ketua DPRD Jawa Timur, Fathor Rashjid -yang sebagian besar konstituennya adalah Islam tradisionalis- mengaku peran wakil rakyat lebih kecil dibandingkan pemuka agama.
Terutama dalam masa kampanye, orang miskin menjadi obyek politik dari berbagai pihak yang berkepentingan, kata Kepala Pusat Studi Perubahan Sosial, Universitas Nusa Cendana, Kupang Yanuarius Koli Bau.
Jadi dalam menentukan nasib mereka, suara orang miskin sebenarnya tidak memiliki kekuatan atau tidak solid sebagai satu kepentingan politik.




(sumber: http://www.bbc.co.uk/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar